Setitik Cahaya Islam di Negeri Seribu Pagoda


Oleh : Fadhilatul Laela
(Mahasiswa IPB dan Penerima Manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara)




Wat Benchamabophit Dusitvanaram (dok. pribadi)

Merantaulah, orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang
Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika saja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan.

(Diwan Imam Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i)

Cuplikan puisi diatas menggambarkan betapa pentingnya merantau, beberapa budaya yang berkembang di Indonesia pada dasarnya telah mengajarkan urgensi dari konsep merantau, sebut saja budaya Minang, Batak, Bugis, dan Jawa. Hampir di seluruh penjuru negeri kita akan dengan mudah berjumpa dengan orang Jawa, hal ini dikaitkan dengan transmigrasi besar-besaran dari pulau Jawa ke pulau Sumatra dan Kalimantan pada era pemerintahan Soeharto. Hal yang tak jauh berbeda terjadi pada budaya masyarakat Minang, dengan Rumah Makan Padang yang telah sukses menginvasi seluruh penjuru negeri, tentu tak ada yang tidak mengenal rendang bukan?. Suku Bugis-Makassar juga termasuk suku yang gemar mengembara. Seperti Minangkabau, keturunan suku Bugis-Makassar juga bertebaran di hampir di semua wilayah Asia Tenggara sejak berabad abad yang lalu. Dengan kapal kapalnya yang terkenal mereka mengembara di seantero laut nusantara. Suku Batak termasuk yang belakangan melakukan aktivitas merantau, tapi perkembangan aktivitas merantau mereka terhitung pesat. Motif merantau orang Batak Toba sendiri terdapat dalam falsafah hidup mereka yakni Hagabeon, Hasangapon, Habontaron dan Harajaon. Bagi orang orang dari suku Batak merantau bertujuan untuk meraih kehidupan yang lebih baik, berusaha bertahan di suatu daerah dan membentuk kehidupan baru di luar kampung halaman. Falsafah ini sukses dilakukan oleh orang Batak di perantauan sehingga dapat berbaur dengan masyarakat setempat dengan harmonis. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah melaksanakan budaya merantau sejak dahulu kala, namun bagaimana jika merantau ke negeri seberang yang jauh berbeda dari segi budaya, bahasa, bahkan agama?

Tahun ini, saya mendapatkan kesempatan yang luar biasa untuk menjadi delegasi IPB dan Indonesia dalam Asean International Mobility for Student (AIMS). Acara ini diadakan dari kerjasama DIKTI dengan kementrian pendidikan negara-negara ASEAN dan Jepang. Mulai 4 Agustus hingga 24 Desember 2016 di Kasetsart University, Thailand. Pertukaran pelajar antar negara-negara ASEAN dan Jepang untuk memberikan pengalaman kepada mahasiswa tentang kehidupan akademis, sosial, dan budaya di negara yang berbeda. Kegiatan utama adalah mengikuti perkuliahan di program internasional Tropical Agriculture yang menggunakan bahasa inggris pada semua mata kuliah yang diajarkan sehingga memudahkan mahasiswa dari berbagai negara yang berbeda memahami materi yang diajarkan. Selain itu juga terdapat kegiatan pertukaran budaya antar negara melalui acara International Food Fair, International Sport Day, International Night Party serta beberapa kunjungan atau fieldtrip ke daerah pertanian di Thailand, Kamphaengsaen Campus, The Grand Palace, Parusk Palace, dan lain-lain. Selain itu di Thailand juga dapat mengikuti beberapa festival seperti Loy Kra Thong Day Festival.

Namun ada satu hal yang sangat menarik perhatian saya selama berada di Thailand, yaitu kehidupan segelintir masyarakat muslim diantara puluhan juta penduduk yang beragama Budha. Sejatinya, Islam di Thailand banyak dijumpai di beberapa provinsi wilayah selatan, antara lain Pattani, Yala, Narathiwat, Satun, dan Songkhla. Seluruh provinsi tersebut dahulunya masuk wilayah kerajaan Pattani Raya pada abad ke-12, sebelum kerajaan Sukhotai berdiri. Meskipun Thailand terkenal sebagai negeri Budha, akan tetapi sekarang kerajaan cukup mensupport kehidupan Islam untuk penduduknya. Tanggung jawab yang berkaitan dengan agama Islam di Thailand dipegang oleh seseorang mufti yang memperoleh gelar Syaikhul Islam (Chularajmontree). Mufti bertugas buat mengatur kebijakan yg bersangkutan dengan kehidupan muslim, seperti penentuan awal serta akhir bulan hijriyah. Saat ini, jumlah kaum muslimin di Thailand mencapai 4.6% dengan statistik sekitar 4 juta dari total 65 juta penduduk, hal ini membuat Islam menjadi agama mayoritas kedua setelah Buddha. Menurut Kantor Statistik Nasional Thailand pada tahun 2007, negara ini memiliki 3.494 masjid, dengan jumlah terbesar (636) di provinsi Pattani.

Toleransi antar umat beragama di Thailand sangatlah kuat, karena mereka saling menghormati sesama meskipun berbeda agama. Namun karena jumlah muslim memang tidak terlalu banyak, hal ini juga mempengaruhi kertersediaan makanan halal maupun tempat ibadah untuk kaum muslim. Jika di Indonesia kita dapat menemukan mushala di setiap gang, mall, tempat wisata, dan perumahan, maka di Thailand hanya tempat tertentu yang menyediakan fasilitas tersebut. Beberapa pusat perbelanjaan seperti MBK, Siam Paragon, Platinum, Chatuchak Market, JJ Green, Pratunam, Robinson’s Sukhumvit telah menyediakan fasilitas tempat sholat yang layak, namun banyak pula pusat perbelanjaan yang belum dilengkapi dengan Muslim prayer room seperti Central Ladprao dan Terminal 21 Shopping Mall. Begitu pula dengan tempat wisata, kita tidak akan menemukan Muslim prayer room di Wat Pho, Wat Arum, Grand Palace, dan tempat-tempat wisata lain yang berkaitan erat dengan tempat ibadah masyarakat Budha maupun istana kerajaan. Tempat sholat hanya tersedia di tempat wisata yang tergolong ‘umum’ seperti Dusit Zoo, Bangkok. Alternatif lain jika kita kesulitan menemukan tempat sholat, kita dapat berkunjung ke universitas-universitas di Thailand, karena hampir semua universitas menyediakan Muslim prayer room. Selain itu, di beberapa universitas juga terdapat perkumpulan mahasiswa muslim (Muslim club). Selain berdiskusi dan belajar mengenai agama islam, Muslim club juga menyediakan fasilitas tempat sholat yang layak.


Muslim Praying Room di Faculty of Agroindustry, Kasetsart University (dok. pribadi)



Muslim Club di Kasetsart University, Thailand (dok. pribadi)

Kekhawatiran selanjutnya yang dialami oleh masyarakat muslim yang berkunjung ke Thailand adalah ketersediaan makanan halal. Sebenarnya tidak terlalu sulit karena di sepanjang jalan di Bangkok setiap 500 meter terdapat minimarket Seven-Eleven (seperti Indomaret dan Alfamart di Indonesia). Kabar gembiranya adalah Seven-Eleven menyediakan berbagai jenis makanan dengan logo halal, maupun vegetarian. Selain itu di berbagai pusat perbelanjaan seperti MBK, Chatuchak Market, JJ Green, dan Sukhumvit juga menyediakan restoran halal, biasanya pemiliknya adalah kaum muslimin. Tak jarang, mereka dapat berbahasa Melayu dengan lancar karena berasal dari Thailand Selatan yang dekat dengan Malaysia sehingga sangat memudahkan masyarakat Indonesia yang ingin memesan makanan. Selanjutnya, kita dapat pula menemukan kantin halal di universitas karena terdapat mahasiswa muslim yang menimba ilmu. Pemerintah Thailand memang sudah lebih dulu punya aturan mengenai sertifikasi dan labelisasi produk halal jika dibandingkan dengan Indonesia yang belum lama ini baru saja mengesahkan UU Jaminan Produk Halal (JPH). Salah satu orang yang berjasa di bidang sertifikasi halal ini adalah Winai Dahlan, seorang associate professor di Chulalongkorn University. Beliau merupakan cucu dari K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau saat ini adalah direktur di Halal Science Center, dan sangat giat melakukan promosi mengenai makanan halal ke seluruh dunia.


Salah satu kantin Halal di Kasetsart University (dok. pribadi)


Rumah makan Thailand yang dikelola muslim di Sukumvit, Thailand (dok. pribadi)

Hal yang saya rasakan selama tinggal di Thailand adalah masyarakat Thailand sangat toleran terhadap muslim. Saat mengikuti acara-acara besar seperti seminar di kampus, pihak universitas secara otomatis menyediakan dua jenis makanan yaitu makanan untuk mahasiswa non-muslim dan makanan halal untuk mahasiswa muslim. Begitu pula saat mengikuti fieldtrip diluar kampus, biasanya dosen akan menanyakan terlebih dahulu apa yang dapat kita makan dan tidak, dan beliau dengan senang hati memfasilitasi atau membantu memberikan solusi agar mahasiswa muslim mendapatkan makanan yang halal. Hal yang tak jauh berbeda terjadi ketika kita berada di tempat yang asing dan bertanya dimana Muslim Prayer Room, mereka akan dengan senang hati menunjukkan, bahkan mengantarkan kita ke mushola terdekat. Dan ketika mereka tidak tahu dimana tempatnya, biasanya mereka akan membantu bertanya kepada warga sekitar dan mencarikan Muslim Prayer Room. Namun karena Thailand merupakan Negara Budha, sehingga hari besar kaum muslimin (Idul Fitri dan Idul Adha) tidak mereka liburkan. Hal ini terkadang menjadi kendala bagi para pelajar atau pegawai yang ingin melaksanakan sholat Ied berjama’ah. Namun biasanya tiap institusi memberikan keringanan untuk membolos pada waktu-waktu tersebut. Bukan sekedar mendapat hak menjalankan ibadah, Muslim di Bangkok juga bebas mengenakan pakaian Muslim, termasuk jilbab bagi Muslimah. Bahkan, sekarang telah ada Bank Syariah yang berdiri di Bangkok. Thailand telah membuktikan bahwa perbedaan agama bukanlah alasan untuk memantik api permusuhan, perdamaian itu bisa kita ciptakan dengan kasih, toleransi, dan saling menghormati.

Sebelum merantau ke Thailand, saya telah lebih dulu merantau ke Bogor untuk menimba ilmu di kampus pertanian terbaik di Indonesia, yaitu Institut Pertanian Bogor. Pada awalnya memang berat meninggalkan kampung halaman saya yang damai dan jauh dari keramaian di pesisir pantai Tuban, Jawa Timur. Namun, hidup di perantauan membuat saya bersyukur, telah dilahirkan dalam keadaan Islam dan dididik oleh orangtua yang selalu berusaha memegang erat nilai tauhid. Bekal tersebut terasa lebih dari cukup, untuk melampaui berbagai macam kondisi lingkungan yang seringkali mengancam keimanan. Merantau benar-benar mengasah jiwa dan akal kita untuk menjadi lebih dewasa dan tegar dalam menghadapi setiap cobaan hidup. Next steps, selain menempuh pendidikan master di ‘negeri matahari terbit’, saya ingin melakukan perjalanan untuk menelusuri jejak peradaban Islam di Eropa. Terlihat mustahil? Mari kita nantikan akhirnya!

So, jangan pernah takut untuk keluar dari kampung halaman, karena masih banyak hal menakjubkan yang menunggu untuk kita temukan!

“Bersabar dan ikhlaslah dalam setiap langkah perbuatan
Terus-meneruslah berbuat baik, ketika di kampung dan di rantau
Jauhilah perbuatan buruk, ketahuilah perilakunya pasti diganjar, di perut bumi dan di atas bumi
Bersabarlah menyongsong musibah yang terus terjadi dalam waktu yang mengalir
Sungguh di dalam sabar ada pintu sukses dan impian kan tercapai
Jangan cari kemulian dikampung kelahiranmu
Sungguh kemuliaan itu ada dalam perantauan di usia muda
Singsinglah lengan baju dan bersungguh-sungguhlah mencapai impian
Karena kemuliaan tak akan bisa diraih dengan kemalasan
Jangan bersilat kata dengan orang yang tak mengerti apa yang kaukatakan
Karena debat kusir adalah pangkal keburukan”


Diterjemahkan dengan bebas dari syair Sayyid Ahmad Hasyimi.
(Ranah 3 Warna – A. Fuadi)

Comments

Popular Posts