TENTANG SEBUAH OBSESI



Jam sudah menunjukkan pukul 00:53, waktunya tidur. Sayangnya, ribuan kata-kata dalam otak ku masih bergejolak, seperti isi gunung berapi yang menuntut untuk diletuskan. Mungkin benar, jika ada penelitian yang menyimpulkan bahwa paling tidak, dalam sehari, perempuan butuh berbicara 20.000 kata. Di dunia nyata, aku orang yang pendiam. Lebih tepatnya introvert, asyik bergumul dengan pikiranku sendiri, duniaku sendiri. Pelampiasanku adalah tulisan. Sejak banyak tersedia pilihan media sosial, perlahan-lahan aku tidak pernah posting di blog lagi. Karena untuk mendapatkan feedback dari orang lain, media sosial jauh lebih cepat. Tapi kita tak bisa menulis panjang lebar seperti di blog. Sayangnya, tidak ada yang menanggapi tulisanku di blog. Aku kan hanya anak biasa yang tidak terkenal. Tapi tak apa, setidaknya kepalaku tidak meledak. Alasannya, seharian ini aku hanya di dalam kamar kosan saja, tak bergaul dengan manusia lain, jadi kelaparan. Rindu rumah, dimana makanan selalu tersedia 24 jam :D

Tentang obsesi. Aku belum pernah menuliskan hal ini sebelumnya, lebih tepatnya tidak berani. Karena orang yang akan aku ceritakan ini, menerima beasiswa yang sama denganku. Aku tak akan membahayakan siapapun diantara kita. Alhamdulillah kemarin sudah wisuda beasiswa. Yeay.

Kisah nyata, dimulai tahun 2013. Selama 5 tahun kuliah di IPB, tidak ada seorang laki-laki pun yang pernah dekat kepadaku, kecuali satu orang. Atau, bisa dibilang, sengaja diatur seperti itu oleh seseorang. Ya, ini sebuah konspirasi. Dia adalah mawar. Tapi, dia laki-laki, bagaimana aku harus menyebutnya? Marmut? Serigala?. Ah susah juga mencari nama samaran. Oke, sebut saja si gendut.

Dia teman sekelasku saat TPB. Tidak ada yang spesial, aku bahkan jarang bicara padanya, kecuali saat kerja kelompok, presentasi, atau debat. Sampai pada suatu hari, dia mulai mendekatiku. Awalnya aku anggap bercanda, karena tipe orangnya sedikit gila, jadi tidak bisa dibedakan mana yang bercanda dan mana yang serius. Sampai pada suatu hari, seorang sahabat perempuanku bercerita bahwa si gendut suka denganku. Kaget pada awalnya, mengingat jarangnya interaksi diantara kita.

Beberapa waktu berlalu, si gendut berani bilang secara langsung, mulai memberikan hadiah, datang kerumahku, dan lain-lain. Sebenarnya, saat itu tidak ada ketertarikan dariku ke dia. Mengingat karakteristik kita yang bertolak belakang. Aku introvert, dia extrovert. Hobi, kesukaan, bacaan, selera musik, tak ada satupun yang sama. Aku lebih sering berdiam diri, berpikir, dan mengamati. Sedangkan dia orangnya suka bergaul, mendominasi, dan meledak-ledak. Saat dia suka denganku, seakan seluruh planet bumi harus tahu. Dan kemudian, salah satu kebiasaan (atau taktik?) yang dia lakukan menjadi bencana bagiku.

Tentu saja saat dia suka denganku, semua orang langsung tahu, karena dia bercerita ke teman-temannya. Apakah aku terganggu? Sedikit. Lalu, datanglah berbondong-bondong orang yang menasehati. Ada yang bilang, “udah terima aja, udah baik, organisasinya bagus, humoris”. Ada juga beberapa teman ‘malaikat’ yang menyelamatkan dan berkata, “janganlah kamu berpacaran, karena pacaran itu mendekati zina”. Dan aku memang tidak tertarik untuk pacaran. Sedang tidak ingin “drama”.

Tapi, dia orang yang cerdik (dan aneh). Karena tahu aku tidak tertarik pacaran, dia mengubah strateginya. Tetap mendekati aku dengan menggebu-gebu, kirim reminder makan, sholat, mandi, tidur, bangun, dll berkali-kali sehari. Meskipun aku terlalu malas untuk membalas pesan dan hanya berakhir aku read. Kadang nggak ku read sama sekali. Dan entah bagaimana caranya, dia selalu tahu aku ada dimana, dan saat aku berjalan pulang, selalu datang tiba-tiba menawarkan tumpangan, layaknya tukang ojek depan asrama. Tentu saja aku menolak, memilih jalan kaki. Lalu dia pun ikut jalan kaki sampai kontrakanku dan meninggalkan motornya.

Soal pengorbanan, sepertinya banyak yang sudah dilakukan. Tahun 2014 seperti biasa, aku masih cuek. Lalu saat liburan semester tiba, tiba-tiba si gendut datang ke rumahku di Jawa Timur, 700 KM dari IPB. Dia datang membawa roti buaya, surat, kerudung. Isi suratnya, intinya dia ingin serius. Bukan pacaran, tapi menikah. Aku masih muda saat itu, sepertinya 17 atau 18 tahun. Itu pertama kalinya ada yang bilang mau serius. Wajar lah buat anak umur segitu yang masih polos, untuk terpengaruh.

Meskipun jika di logika sangat tidak mungkin aku menikah di usia segitu. Saat itu aku anak yang sangat ambisius. Aku satu-satunya anak yang kuliah di IPB di daerah rumahku. Dan jurusan yang kupilih, agronomi dan hortikultura, pertanian banget. Masyarakat disana, tidak tahu jika IPB adalah kampus top. Mereka hanya tahu, pertanian tak punya masa depan. Karena itulah profesi mereka sehari-hari. Bahkan orang terkaya disana, menghinaku secara langsung di depan ibuku. Saat itu, aku hanya ingin membuktikan bahwa dugaan mereka salah, dan aku bisa sukses.

Mulailah aku menuliskan mimpi-mimpiku. IPK Cumlaude, exchange keluar negeri, ikut pimnas, menang banyak lomba, menerbitkan buku, keliling Indonesia, keliling dunia, S2 diluar negeri, dll. Pokoknya duniawi banget. Menikah? Jika aku menuliskan 100 mimpi, maka menikah mungkin masuk mimpi ke 101. Alias belum masuk daftar. Aku ingat kata-kata ibuku yang menyesal menikah muda karena banyak hal yang belum dilakukan. Ya, banyak hal yang bisa kita lakukan saat lajang, tidak akan bisa dilakukan lagi saat menikah. Hal itu pula yang membuatku takut. Selain itu, aku takut berada di ketiak orang lain. Aku punya sahabat, yang tadinya mapan secara ekonomi ketika ayahnya masih hidup dan bekerja. Namun harus rela jatuh miskin dan terlunta-lunta saat ayahnya meninggal. Ibunya seorang sarjana, namun tidak bekerja. Dan ketika ayahnya meninggal, ibunya sudah terlalu tua untuk mendapatkan pekerjaan bonafit yang sesuai dengan ijazahnya. Aku ingin mandiri, paling tidak bisa mencukupi kebutuhan diri sendiri, tanpa harus bergantung pada orang lain.

Kok ceritanya melenceng ya? Hmmm maaf terbawa suasana. Intinya saat itu aku mulai membuka hati untuk si gendut. Tidak, tentu saja tidak pacaran. Hanya dekat. Waktu yang cukup lama untuk sebuah kedekatan 2014-2018. Akhirnya tahu banyak hal. Seperti halnya orang lain, dia juga punya sisi baik dan buruk. Sisi baiknya ya ramah, multitalenta, suka menolong, pandai berorganisasi, banyak relasi, humoris, anak rumahan (tidak neko-neko). Sisi buruknya seperti anak kecil yang mengancam dan memaksa saat permintaannya tidak dituruti, kadang-kadang berbohong, menceritakan semua hal ke orang lain, dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya.

Tentang sebuah obsesi. Mungkin awalnya dia memang murni suka kepadaku. Tapi, lama kelamaan bisa dibilang, berubah menjadi sebuah obsesi. Dia menghalalkan segala cara. Termasuk, yang paling aku benci, menyebarkan gosip dan berita bohong. Sejak dulu, aku selalu risih dengan gosip aneh-aneh yang tersebar di kampus, tentangku. Aku marah dan benci pada orang yang sengaja menjatuhkan namaku dengan berita bohong itu, tapi aku tidak tahu siapa. Sampai pada suatu hari, aku bertanya pada salah seorang teman, yang juga teman dari si gendut. “Kamu di kasih tahu siapa gosip itu?”, tanyaku. “Si gendut sendiri yang bilang”, jawab temanku.

Marah? Tentu saja. Aku paksa dia menjawab kenapa melakukan hal itu? Dan si gendut cuman bilang, “Agar tidak ada laki-laki lain yang mendekati kamu, kecuali aku”. Sebuah taktik curang, untuk menjauhkan musuh dari medan perang, tanpa harus berperang. Dan selamat, taktiknya berhasil. Selama 5 tahun di IPB, tidak ada satupun laki-laki yang mendekatiku, selain si gendut. Hal yang sangat aneh, mengingat saat kelas X SMA saja, ada 11 cowok yang pernah menyatakan perasaannya padaku.

Awalnya kupikir karena aku menua dan berubah menjadi jelek. Tapi kan, aku berprestasi. Meskipun tidak secantik waktu SMA, paling tidak ada daya tarik lain seperti wawasan yang luas misalnya. Aku jadi teringat pernah membaca cerita seorang perempuan cantik, yang diguna-gunai oleh pacarnya sendiri dengan menutup aura si perempuan sehingga terlihat sangat jelek dimata orang lain. Alasannya sama, agar tak ada yang mendekati perempuan itu, selain dirinya sendiri.

Sekarang usiaku sudah 22 tahun. Dan selama kuliah di IPB 5 tahun, aku tak pernah punya kesempatan untuk mengenal laki-laki lain. Sempat terbesit dalam benakku, apakah aku akan singel selamanya?

Jodoh hanya Tuhan yang tahu. Aku tak bisa berharap pada siapapun. Meskipun si gendut sudah membuatku jauh dari semua laki-laki, belum tentu juga dia jodohku. Karena sepandai-pandainya mencium bangkai, pasti tercium juga. Seperti cerita laki-laki yang melakukan guna-guna ke pacarnya tadi, akhirnya terbongkar juga, dan guna-guna nya dapat dilawan serta dihilangkan. Sekarang aku juga sudah mengetahui bahwa orang yang sengaja menyebar gosip-gosip buruk tentangku, ternyata orang terdekatku, si gendut sendiri. Kecewa? Pasti. Rasanya kayak kamu udah percaya bertahun-tahun kepada orang yang diam-diam memasukkan racun ke makananmu tiap hari. Lalu perlahan-lahan kamu mulai sakit, kemudian mati.

Aku tidak suka berharap. Dari dulu takut tertipu dan kecewa. Si gendut memang pernah menyatakan dalam suratnya ingin serius, menikah secepatnya, dan lain-lain. Bahkan dia nekat menyebarkan gosip udah tunangan, direstui orang tua, nikah bulan depan, dan lain-lain. Hal yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan nyata. Karena dia belum lulus, belum kerja, mau S2 dulu, bahkan tidak dibolehkan nikah oleh orang tuanya sebelum lulus S2. Melihat semua hal itu, sepertinya 5 tahun lagi baru dia nikah.

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman, sebut saja mawar, mengajakku diskusi. Menurut penilaian mawar, si gendut tidak siap menjadi laki-laki yang bertanggung jawab, tapi takut kehilangan. Tidak mudah membina hubungan dengan orang yang baru, karena harus belajar menyesuaikan diri lagi sejak awal. Apalagi, mawar menilaiku sebagai orang yang berbeda, yang mungkin menjadi kriteria yang diinginkan si gendut.

Sudah tak terhitung berapa kali aku mencoba menjauhkan diri dari si gendut. Alasannya simpel, tidak ingin mendekati zina. Meskipun terkadang aku mencari-cari alasan lain. Mulai dari memblokir semua akses di sosial media, agar dia tak bisa menghubungiku. Tapi dia selalu datang ke Lab ku, sampai aku memutuskan untuk tidak nge Lab beberapa waktu. Lalu, dia datang setiap hari ke kosanku mengirimkan makanan, seolah-olah aku sedang menjadi korban bencana alam. Tentu saja aku tidak mau. Jadi, dia kirimkan melalui mbak-mbak di kosanku, sampai mereka risih dan bilang, “udah jangan marahan lagi”. Ingin sekali kubalas, “aku tidak sedang marahan, hanya tak mau mendekati zina”. Ya, zina hati, zina mata, kan termasuk juga. Kemudian aku pulang ke jawa timur selama 2 bulan. Tapi aku tidak bisa terus-menerus berada dirumah, skripsi menngguku.

Sudah 1588 kata, sudah pukul 02:40 dini hari. Rasanya aku hanya ingin lulus dari IPB, pergi sejauh mungkin dari Bogor. Menjalani kehidupan baru, ditempat baru, dengan orang-orang baru, memiliki kesempatan baru. Bekerja, memiliki uang sendiri, lalu membangun rumah di tanah yang luas agar bisa berkebun setiap weekend. Aku rindu menanam bunga, sayur, buah-buahan. Aku rindu memiliki perpustakaan pribadi, dengan ratusan koleksi buku seperti dirumah. Rindu membuka mata saat pagi dengan jendela menghadap taman, menghirup udara segar, merasakan hangatnya mentari pagi, dan mendengarkan suara burung-burung berkicauan.

Aku hanya ingin hidup tenang. Apakah bisa terwujud sebelum aku meninggal? Dan apakah aku akan menemukan sosok “the one” suatu hari nanti?

Aku, jatuh ke dalam palung kesendirian paling dalam, karena sebuah obsesi, milik orang lain !

Comments

Popular Posts