Fenomena Maraknya Pengemis, serta Implementasi Zakat di Indonesia

Oleh : Fadhilatul Laela, Penerima Manfaat Bakti Nusa 6 IPB

Belakangan ini sering tersiar dari berita di media cetak dan elektronik mengenai fenomena pengemis yang kaya raya di berbagai negara, salah satunya di Indonesia. Mengemis dilakukan bukan hanya ‘terpaksa’ karena tidak mempunyai keahlian, namun sudah dijadikan pekerjaan tetap. Bagaimana tidak? Jika penghasilan dari mengemis justru lebih besar dari PNS dan pekerja kantoran. Bahkan tidak jarang ada oknum yang berpura-pura cacat untuk mengundang belas kasihan dari masyarakat. Bukan rahasia lagi jika di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, pengemis sudah terorganisir dan memiliki ‘Bos’ yang mengatur penempatan mereka, konsekuensinya pengemis-pengemis tersebut harus memberikan uang setoran.

Permasalahan pengemis bukan hanya masalah ekonomi, namun masalah utama yang perlu ditanggulangi adalah mental. Meskipun sudah kaya-raya punya rumah mewah, mobil, sertifikat tanah, I-Phone dan lain-lain nyatanya tidak membuat mereka berhenti mengemis. Salah satu kisah nyata dituturkan oleh sahabat saya yang pernah aktif di Save Street Child Bandung, kebaikan hati teman-teman mahasiswa untuk membina anak-anak jalanan justru dimanfaatkan oleh beberapa orang tua untuk ‘memeras’ dengan dalih agar anak-anaknya mau sekolah dan tidak kembali mengemis dan mengamen di jalan. Namun apa yang terjadi? Meskipun telah mendapatkan bantuan dari relawan-relawan SSCB, mereka tetap kembali ke jalanan untuk mengemis. Hal yang paling miris adalah bantuan yang diberikan terkadang tidak tepat sasaran, bukan digunakan untuk keperluan sekolah tetapi malah berfoya-foya membeli barang-barang lain. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan ekonomi maupun pemberdayaan harus disertai dengan revolusi mental.

Jika kita melihat fakta yang terjadi pada negara maju seperti Jepang, populasi pengemis sangatlah kecil. Bukan karena tidak ada orang miskin, di Tokyo jumlah gelandangan selalu bertambah setiap tahunnya karena persaingan kerja yang ketat. Namun yang dilakukan para gelandangan bukanlah mengemis atau mengamen, orang Jepang punya harga diri yang tinggi sehingga pantang untuk meminta-minta pada orang lain. Mereka mempunyai prinsip jika ingin punya uang harus bekerja keras, sehingga para homeless lebih memilih bekerja mengumpulkan kaleng dan kardus untuk dijual daripada mengemis.

Faktanya, tidak semua negara maju mempunyai jumlah pengemis yang sedikit. Di Uni Emirat Arab, para pengemis justru datang dari negara-negara sekitar seperti Bangladesh dan Pakistan. Mereka menyamar dengan menggunakan visa bisnis atau visa kerja, tapi setelah sampai di UEA pekerjaan mereka adalah pengemis. Bagaimana tidak? penghasilan pengemis di UAE dapat mencapat 1 Milyar rupiah dalam setahun. Hal ini tentu menjadi magnet tersendiri karena penduduk Uni Emirat Arab memang terkenal dengan kekayaannya sehingga tak segan-segan untuk bersedekah kepada pengemis.

Tingkat kedermawanan rupanya tidak berbanding lurus dengan tingkat ekonomi sebuah negara. Menurut data yang dihimpun Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2016, negara yang mempunyai rakyat paling dermawan justru bukan berasal dari negara yang paling kaya, namun sebuah negara berkembang di Asia Tenggara yaitu Myanmar. Tingginya tingkat kedermawanan ini tercermin dalam praktik 'Sangha Dana' yaitu donasi atau sumbangan untuk mereka yang hidup di wihara. Tak kurang dari 91% warga di Myanmar mengeluarkan sumbangan ini. Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, sebenarnya tidak jauh tertinggal karena masih menempati urutan ke-7. Namun hal ini tentu masih bisa ditingkatkan karena pada faktanya tidak semua orang di Indonesia sudah memenuhi kewajiban zakat seperti yang seharusnya.

Secara etimologi (bahasa) kata zakat berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik. Dalam terminologi fikih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak, disamping berarti mengeluarkan sejumlah itu sendiri demikian Qardhawi mengutip pendapat Zamakhsari. Jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan itu dari kebinasaan. Sedangkan menurut terminology syariat, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syariat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.

Tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia yang lumayan tinggi, seringkali disalurkan dengan cara yang kurang relevan dengan zaman sekarang ini. Karena banyak oknum yang berpakaian compang-camping memanfaatkan kedermawanan masyarakat dengan menjadi pengemis, meskipun sebenarnya mereka bukanlah orang yang ‘layak’ untuk diberikan sumbangan. Seperti kata peribahasa, apa yang terlihat belum tentu sama dengan apa yang sebenarnya. Fenomena ini tentu meresahkan masyarakat yang bingung kemana seharusnya mereka menyalurkan harta zakat, sedekah, maupun infaq.

Dr. Preecha Sitdhikornkai, dosen senior di Kasetsart University sekaligus ahli di bidang agricultural cooperative and fairtrade pernah mengatakan bahwa, “We Should not only give the poor only money today but also give them more knowledge, because knowledge can create new money for tomorrow”. Prinsip ini telah sukses diterapkan oleh Dr. Muhammad Yunus dengan mendirikan Grameen Bank di Bangladesh. Beliau berani mengambil resiko yang tidak pernah ditempuh oleh bank-bank lain, yaitu memberikan pinjaman kepada rakyat miskin di desa tanpa bunga dan jaminan. Tidak hanya memberikan pinjaman, namun Grameen Bank juga memberikan pendidikan dan pelatihan ketrampilan kepada rakyat miskin agar bisa mandiri. Hal ini dilakukan agar rakyat miskin di Bangladesh terbebas dari cengkraman rentenir yang telah mencekik mereka dengan pinjaman berbunga tinggi. Jumlah pengemis yang sangat tinggi di Bangladesh, membuat Grameen Bank memberikan perhatian khusus dengan memberikan modal berupa barang-barang untuk dijual oleh pengemis sehingga mereka memperoleh keuntungan dari berjualan. Perjuangan Dr. Muhammad Yunus bersama Grameen Bank telah membuat beliau dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 2006.

Di Indonesia, penerapan konsep yang serupa telah dilakukan oleh Lembaga Amil Zakat tingkat Nasional, Dompet Dhuafa Republika yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF. Penyaluran dana masyarakat oleh Dompet Dhuafa telah mencakup berbagai aspek yaitu kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pengembangan sosial yang telah memberi manfaat bagi banyak orang. Zakat, infaq, maupun shodaqoh tidak hanya dapat disalurkan dalam bentuk tunai namun juga dalam bentuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu contohnya adalah program Institut Kemandirian yang memberikan pelatihan secara cuma-cuma kepada pengangguran dan dhuafa agar mempunyai ketrampilan untuk mandiri dan berwirausaha agar terbebas dari jeratan kemiskinan. Program lain yang sukses dilaksanakan di berbagai wilayah Indonesia adalah Beastudi Etos yang berhasil mengantarkan anak-anak bangsa yang terancam tidak bisa kuliah karena keterbatasan biaya, menjadi sarjana yang dapat mengangkat perekonomian keluarga.

Konsep ‘zakat’ yang telah diterapkan oleh Grameen Bank dan Dompet Dhuafa merupakan contoh untuk membebaskan rakyat dari ‘mental miskin’ menjadi ‘mental bekerja keras’. Karena sebanyak apapun uang yang kita berikan, tentu tidak akan cukup jika masyarakat masih memelihara mindset bahwa mereka orang yang tidak punya, berbeda halnya dengan memberikan ketrampilan dan memotivasi mereka bekerja keras mengubah nasib sendiri. Hal yang perlu kita terapkan untuk mengubah ‘mental miskin’ agar fenomena oknum pengemis tidak semakin menjamur adalah dengan menyalurkan zakat, infaq, shodaqoh kepada lembaga-lembaga resmi yang terpercaya agar harta yang kita sumbangkan dapat tersalurkan dan bermanfaat untuk orang yang tepat.

“Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada Hari Kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474; Muslim, no. 1040)
“Perumpaman orang-orang yang menafkahkan hartanya mereka di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada setiap butir seratus biji. Allah (terus-menerus) melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunia-Nya) Lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah:261)

Comments

Popular Posts