COME BACK TO THE BLOG

Hello!

“Hai, selamat bertemu lagi. Rasanya tak ingin, mengunjungimu. Sial pula, kau ada disini. Rasanya tak ingin bernafas lagi.”



Random. Begitulah isi pikiranku, sifatku, kepribadianku, dan mungkin, diriku. Ya, sejak kecil memang dikenal “berbeda”, bahasa kasarnya, freak, aneh. Begitulah kata orang-orang. Hanya saja, terkadang masih “agak” selamat dari perpeloncoan/bullying, mungkin karena Allah menganugerahkah kecerdasan yang mumpuni, yang membuatku selalu ranking sejak SD meskipun jarang belajar, dan sering berprestasi dalam berbagai lomba. Untuk orang yang belum terlalu kenal dan tahu kalau aku freak, kadang menjadi agak segan. Tetap saja, aku pernah menjadi korban bully yang cukup parah sewaktu SD, hal ini tentu berpengaruh kepada pembentukan kepribadianku. Membuatku selalu curiga kepada orang baru, dan sulit percaya kepada orang lain. Tetapi, kadang juga terlalu polos, terutama kepada pedagang, tukang servis jam tangan, dan penyedia barang-jasa lain yang tidak jujur. Ya, selama di Bogor, aku beberapa kali tertipu saat bertransaksi.

Pengalaman pahit di masa kecil, mau tidak mau menimbulkan trauma tersendiri. Aku menjadi rapuh, mudah depresi, dan sulit melupakan kenangan pahit. Terlebih lagi, yang berhubungan dengan orang lain. Sekali dibohongi, sekali disakiti, aku menjadi tidak percaya dan susah untuk dekat dengan orang tersebut selamanya. Mungkin, di otak ku sudah ter-setting, “jauhi orang jahat”, “dia pernah membullymu, jangan dekat-dekat”, “orang itu pernah mempermalukanmu di depan umum, hati-hati bisa jadi dia akan melakukan hal yang sama”, “orang itu pernah minjem duit tapi ga dibalikin, waspada kalo dia ngutang lagi”. Begitulah.

Dan masih terjadi sampai sekarang. Aku sudah tinggal di kosan ini selama 8 bulan, dan tidak pernah bisa dekat dengan penghuni awal, karena pernah merasa ditipu. Aku sudah tidak marah, dan tidak benci, toh mau tidak mau karena sudah bayar, aku harus menempati kosan ini. Tapi entah mengapa, rasanya sulit melupakan kalau mereka pernah menipuku. Dan ini mempengaruhi kehidupanku. Karena pada akhirnya aku mendapat kamar tidak berjendela keluar ruangan, berbatasan langsung dengan toilet dan dapur sehingga ada bau macam-macam, sering didatangi semut dan kecoa, parahnya lagi saat balik dari pulang kampung, ternyata laci lemari pakaianku sudah diinvasi tikus. Selama 5 tahun kuliah di IPB, baru sekali ini aku mendapat kamar dengan bonus tikus. Aku bukan orang yang takut sama hewan, tapi tikus kan bisa menularkan penyakit. Bayangin aja dong ketika lu buka laci lemari, banyak kotoran dan bekas pipis tikus. Rasanya pengen pindah saat itu juga, tapi tidak punya uang. Hidup memang tidak mudah ya.

Pun juga dengan dosen pembimbing skripsi, awalnya semua baik-baik saja. Aku mencoba untuk terus semangat mengerjakan penelitianku meskipun berkali-kali gagal. Sebenarnya kegagalan dalam penelitian bukan masalah karena saat itu aku masih punya harapan, cita-cita, dan mimpi-mimpi untuk diwujudkan. Setelah gagal ya ngulang lagi, nyoba metode-metode baru, setiap hari pengamatan di lahan tak peduli terik dan hujan, tidak pulang kampung meskipun hari raya idul fitri, begadang di lab hingga tengah malam, it’s OK. Aku punya motivasi, setelah penelitianku selesai, aku akan mengikuti ADP IELTS dari Bakti Nusa di Pare, sebagai bekal melanjutkan mimpiku untuk S2 di luar negeri. Sebuah planning hidup yang direncanakan sejak jauh-jauh hari, 4 tahun yang lalu, tahun 2014 saat pertama aku mengetahui ada kakak tingkat yang diterima Bakti Nusa. Rencana hanya tinggal rencana, 4 Oktober 2014, tepatnya 1 hari sebelum keberangkatanku ke Pare, saat semua sudah disiapkan dengan matang, si dosen PS menggagalkan impianku, dengan menyakitkan, kemudian duniaku pun runtuh.

Setelah berusaha menyembuhkan kakiku yang patah, aku bangkit mempersiapkan semua berkas dengan matang untuk magang di Belanda. Pagi-siang-malam tiada henti aku mengisi semua form, menuliskan mimpi-mimpiku dengan menjawab ratusan pertanyaan, menghubungi guru TOEFL, manajer bakti nusa, menyiapkan berkas sebaik-baiknya. Dan terulang lagi, dosen PS bukan hanya menggagalkanku untuk berangkat magang ke Belanda, tapi juga merusak hubunganku dengan dosen PA yang selama ini terjalin dengan baik.

Rasanya, aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Selama ini saat ingin mendaftar beasiswa, exchange, lomba, dan apapun itu, tempatku mengadu dan berkonsultasi adalah dosen PA. Rasanya seperti telah kehilangan orang tuaku. Aku seperti anak kucing yang baru lahir, belum membuka mata, belum punya bulu, lalu dipisahkan dari indukku, dan dibuang ditengah dinginnya hujan. Bahkan sejak semester-semester awal di IPB, aku selalu kepo tentang cara dan persyaratan agar diterima beasiswa diluar negeri. Dan yang terpenting adalah sertifikat IELTS serta surat rekomendasi dari dosen pembimbing. Karena dua hal itu sudah dicabut dari hidupku, apa yang tersisa?

Sejak oktober hingga februari, aku tidak pernah menemui dosen PS lagi. Aku sudah tidak marah, hanya saja tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat bertemu dia lagi. Sejak saat itu pula, aku seperti mayat hidup. Rasanya seperti diberi tahu bahwa aku akan hidup seratus tahun lagi, tapi ditakdirkan menjadi gelandangan. Kamu tahu kan nasib bisa diubah, tapi tidak dengan takdir?

Comments

Popular Posts