Homeless Millenial Generation

Sumber gambar : Galeri Nasional Indonesia (dokumentasi pribadi).

Pukul 23:41 WIB.
Hari ini berdiskusi dengan beberapa teman mengenai kekhawatiran bahwa generasi kami, di masa depan tidak akan punya tempat tinggal. Semakin hari, harga properti semakin melambung diatas awan, tak terjangkau. Sementara penghasilan jika menjadi pegawai, ya segitu-segitu aja. Mungkin sedikit lebih besar dari UMR. Kita tidak sedang membicarakan anak sultan ya, atau orang-orang yang ketika lahir sudah kaya raya. Tapi populasi rata-rata orang indonesia, terutama generasi millenials yang berada pada low-middle class. Salah seorang teman SMA langsung menjawab, "ya sudah jadi pengusaha aja", dengan entengnya. Padahal berwirausaha tidak segampang membalik telur dadar. Keluargaku banyak yang bekerja sebagai petani, pedagang, dan pengusaha. Memang ada yang sukses, yang dengan gampangnya membeli tanah, kebun, rumah, dan aset-aset lain di desaku. Tapi kan, dari puluhan anggota keluarga besar, hanya satu yang bisa sesukses itu. Beberapa yang lain, yang menjadi pengusaha ya ada naik turunnya. Ada kalanya mereka untung sehingga membeli tanah, mobil, dsb. Ada kalanya mereka bangkrut dan harus menjual aset-asetnya. Dan kami, orang lokal atau sekitar daerahku, yang pernah sukses menjadi pengusaha, rata-rata gagal mewariskan dengan baik kepada keturunannya. Usaha yang dibangun dengan susah payah, porak-poranda ditangan generasi kedua atau ketiga. Begitu terus berulang dari tahun ke tahun, keluarga ke keluarga.


Harga apartemen di Jakarta Selatan (Kalibata City), paling tidak Rp 650.000.000,- untuk tipe studio (standard) dengan satu tempat tidur. Harga sewa per bulan nya minimal Rp 3.000.000,- padahal UMR tahun 2018 masih Rp 3.648.000,-. Jadi pegawai kantoran biasa yang gajinya sedikit diatas UMR pun tidak bisa menyewa apartemen, apalagi membeli. Mau lebih murah? pilihannya ada di Depok, Bogor, Bekasi atau Tangerang. Tapi perjalanan pulang pergi dari apartemen ke kantor menjadi PR tersendiri. Bagi yang tinggal di Jabodetabek pasti tahu lah betapa menderitanya naik KRL saat jam berangkat dan pulang kerja. Mau naik bus? macet, lama, tidak efisien, wasting time. Naik motor? pegel nyetir (dan misuh) di jalanan dengan orang-orang yang bar-bar, keselamatan nyawa dipertaruhkan. Naik ojek online? mahal bro kalau jauh. Aku PP Dramaga-Kalibata sehari ngabisin ongkos Rp 60.000,- sampai Rp 70.000,- (Akumulasi naik ojek online + KRL). Bener kosan disini murah, tapi transportnya yang mahal.

Kehidupan orang dewasa memang rumit ya.

Ada sih pilihan lain, yaitu tinggal dirumah orang tua atau mertua (kalau anda menikah). Ya tapi yang jadi pertanyaan, apakah kita bekerja di kota yang sama dengan tempat tinggal mereka? Kalau tidak tentunya tidak bisa mengharapkan pilihan ini. Peningkatan populasi tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan. Sebagian besar kekayaan yang ada di indonesia (dan dunia) hanya milih segelintir orang saja. Kapitalisme membuat kesenjangan sosial sangat tinggi.

Hal-hal seperti ini yang membuat sebagian orang enggan menikah atau punya anak, seperti di Jepang. Ya mereka realistis, karena merawat anak butuh biaya besar. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri saja masih susah, bagaimana mau memberi makan orang lain?. Tanggung jawabnya sangat besar, karena kegagalan untuk menjadi orang tua yang baik akan berdampak pada penyesalan seumur hidup.

Teman SMP ku pernah bilang "menikah membuka pintu rezeki". Mungkin karena melihat fenomena teman-teman yang dulu hidupnya kekurangan, menjadi lebih baik setelah menikah. Ya fenomena di desa (dan kota kecil) memang seperti itu. Banyak guru honorer yang gajinya hanya Rp 200.000,- per bulan tapi bisa tetap hidup. Memang tidak masuk akal untuk kita yang terbiasa hidup di kota besar. Tapi nyatanya ada. Kalau ditanya, jawabannya selalu, "alhamdulilah rezeki mah selalu ada aja".

Fenomena tenaga pendidik yang mendapatkan kompensasi kecil sudah terjadi sejak dulu di Indonesia. Nenekku bercerita, waktu sekolah dulu guru-gurunya tidak mendapat gaji dari negara, jadi meminta sumbangan sukarela kepada wali murid. Di zaman bapakku kuliah pun, gaji guru masih kecil. Hal itulah yang membuat bapakku memutuskan keluar dari IKIP tempatnya berkuliah. Kalau sekarang IKIP sudah berubah nama menjadi universitas seperti UNNES, UNESA, UNJ, dll.

Sekarang pukul 00:31 WIB.

Mengenai pekerjaan, pendapat kedua orang tuaku pun berbeda. Ibuku bilang, "nggak apa-apa penghasilan kecil daripada nggak kerja". Karena ibuku orang yang gampang terpengaruh sama gunjingan orang. Kalau bapakku orangnya realistis, beliau menasehati bahwa, "bekerja harus mempertimbangkan penghasilannya juga, cukup nggak untuk hidup? kalau nggak cukup lebih baik keluar, cari yang lain atau berwirausaha saja". Aku setuju dengan bapakku. Kalau tersedia pilihan, dan kita bisa memilih, kenapa tidak?



Semoga kami para generasi millenials, dapat mempunyai tempat tinggal yang layak dengan kepemilikan sendiri. Amin.

Comments

Popular Posts