MENCECAP PAHITNYA KEHILANGAN




Pukul 20:56 air mata tak bisa berhenti mengalir, jujur saja aku tak bisa menahan untuk tidak menangis sesenggukan. Malam ini baru kusadari, seseorang yang sudah kuanggap dekat, benar-benar telah pergi. Penyebabnya? Sepele sekali. Tapi mungkin malam ini adalah puncaknya. Karena rentetan kejadian sudah bermula sejak lama.

Aku punya seorang adik kelas perempuan, yang sejak awal masuk organisasi sudah membuatku kagum. Dia cerdas, pemberani, percaya diri, pandai berbicara di depan umum, ramah, berprestasi, disukai semua orang, banyak teman, pandai bergail, berprestasi, bertanggung jawab terhadap amanah, rasanya aku tak mampu menyebutkan semua kelebihannya karena saking banyaknya. Apalagi, dia berhasil diterima di jurusan favorit kampusku, dan berasal dari salah satu SMA yang terkenal di Indonesia.

Dalam organisasi, kami memang beda divisi sehingga tidak berinteraksi setiap hari. Tapi aku bisa bertemu dengannya saat ada rapim di sekret, atau acara organisasi. Selain itu, kami terkadang sharing melalui aplikasi seperti whatsapp. Kami juga mengikuti program internasional yang sama, meskipun berbeda tahun pelaksanaan.

Kami tak pernah ada masalah satu sama lain, kami saling menghormati. Oh ya, kami mendapat beasiswa dari lembaga yang sama, sehingga terkadang bisa asyik berbincang tentang kegiatan di beasiswa kami. Dia mempunyai empati yang tinggi, aku nyaman saat bercerita dengannya. Dia bisa membuatku membuka diri. Hal yang sulit aku lakukan pada orang lain.

Tapi, memang tak ada yang abadi kan? Termasuk pertemanan. Tahun lalu, kebersamaanku dengan teman-teman terbaikku harus berakhir di KOPAJA (Kontrakan Pak Jarkasih), karena beberapa dari kami sudah ada yang mau lulus. Dengan berat hati, kami harus berpisah mencari tempat tinggal baru. Aku tahu, kelulusanku masih lama dari Juni 2017 sehingga memutuskan untuk mencari kosan yang murah (biasanya yang dibayar untuk setahun). Setiap hari disela-sela kesibukan penelitian aku berkeliling mencari tempat bernaung baru. Hampir semua daerah lingkar kampus kujajaki. Perumahan dosen, perwira, badoneng, bara, bateng, balio, hingga balebak. Tak kutemukan kosan yang sesuai dengan kriteriaku. Sederhana, aku hanya ingin kosan yang tidak terlampau mahal, tapi punya jendela menghadap keluar kamar agar sirkulasi udara lancar. Udah.

Suatu hari, karena lelah tak mendapat tempat bernaung, aku memutuskan untuk mengirim pesan ke beberapa grup whatsapp. Isinya, “mohon info kosan perempuan sekitar ipb”. Tak lama kemudian, adik kelasku tadi, mengirim pesan kepadaku. (NB : Agar lebih mudah, kita sepakati saja nama samaran untuk adik kelasku adalah “Ayu”). Ayu bilang, masih ada kamar kosong di wisma ag*ng 3. Ayu juga bilang akan tinggal disana selama satu tahun kedepan. Dan harganya pun terjangkau. Akhirnya aku datang kesana, bertemu dengan penjaganya. Suasananya cukup asri karena ada pohon dan taman, serta tidak bising karena jauh dari jalan raya. Saat masuk, ada beberapa perempuan yang sedang asyik memasak. Beberapa diantara mereka mengajakku bicara. Salah satu penghuninya, sebut saja mbak atin, bilang bahwa kamarnya yang mempunyai jendela menghadap ke taman, akan kosong karena dia mau pindah. Akhirnya aku “nge-tag” kamarnya mbak atin karena sesuai dengan keinginanku.

Yang paling aku ingat, bapak penjaga kosan minta aku buru-buru melunasinya. Dengan alasan agar tidak diambil oleh para pencari kosan lain, dan agar beliau dapat kepastian jika aku jadi pindah kesana. Beliau sempat bercerita pengalaman tidak menyenangkan karena beberapa kali ada yang sudah DP dengan nominal kecil tapi tidak jadi masuk kosan sehingga kosannya nganggur setahun. Karena saat itu tidak ada masalah financial, dan ibuku juga sudah terbiasa mengirim uang kosan untuk setahun, akhirnya aku melunasinya. Aku tidak tahu, jika itu keputusan yang tidak tepat.

Di hari saat aku pindahan, aku baru diberi tahu oleh mbak atin kalau mbak tri, teman sekamarnya tidak jadi pindah. Otomatis perjanjian diawal dibatalkan secara sepihak oleh mereka. Aku? Bagaimana nasibku yang sudah terlanjur membayar untuk setahun?. Gigit jari saja. Sudah mencoba bernegosiasi dengan bapak-ibu penjaga kosan jika uang yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali. Maka aku hanya diberikan satu pilihan, yaitu menempati kamar lain. Kamar di pojok, depan dapur, samping toilet, tanpa ventilasi keluar, kurang penerangan, bau (dari toilet & tempat sampah di dapur), pengap, dan lembab.

Sedih? Kecewa? Pasti. Rasanya seperti ditipu. Rasanya sudah menyesal karena percaya pada mereka. Mungkin aku terlalu lugu dan polos, sering tertipu jika berurusan dengan orang lain. Hal itulah yang membuatku lebih sering menghabiskan waktu di laboratorium (berangkat pagi, pulang tengah malam). Selain itu, yang membuatku tidak nyaman adalah penghuni lama kosan suka berkumpul di depan kamarku dan tertawa dengan volume maksimal. Pernah aku sedang sakit infeksi saluran pernapasan (karena kondisi kamar tidak layak sepertinya), tapi sama sekali tidak bisa beristirahat di kosan karena suara tertawa kencang mereka, nonstop. Dengan tenaga yang tersisa, aku berjalan ke laboratorium dan tidur disana, di siang hari. Hal itu membuatku ditegur oleh dosen dan laboran. Tapi aku hanya tidak punya tempat lain untuk bernaung. Badanku lemah dan sakit, aku hanya ingin istirahat, itu saja.

Saat itu di kosan, aku hanya kenal ayu. Dia anak yang baik, mau mendengar curhatan tidak pentingku. Dan dia menawarkan untuk tidur di kamarnya. Aku senang tapi sekaligus sungkan karena tidak ingin merepotkan orang lain. Akhirnya selama beberapa waktu berikutnya, kadang-kadang aku tidur di kamarnya. Tidak setiap hari, karena aku malu jika harus menumpang. Hingga suatu hari, aku tak pernah lagi bisa masuk kamarnya. Ada seseorang yang tak pernah kukenal sebelumnya, yang menjadi teman sekamarnya. Aku tidak masalah, toh kita masih sering bertemu di kosan, kita masih berteman baik. Ayu memang ramah, bisa bergaul dengan siapapun. Dan tanpa butuh waktu lama, dia sudah akrab dengan geng mbak atin, mbak tri, dan mbak-mbak teman sekamar barunya.

Rasa tersisihkan pasti ada, karena semenjak mereka akrab, aku tak lagi punya kesempatan untuk bermain bersama ayu. Setiap di kosan, ayu selalu bersama mereka. Aku sungkan untuk mengganggunya. Aku berbeda dari mereka, si introvert ini pasti hanya akan menjadi kacang diantara para dominan. Aku sudah mencobanya berkali-kali, sejak SD, tapi tak pernah berhasil. Biasanya berakhir dikucilkan dan dibully. Aku, mungkin hanya akan mempunyai sahabat yang bisa dihitung jari saja sepanjang hidupku.

Tapi bukan itu masalahnya. Aku menjadi takut jika akan menceritakannya. Intinya, ada salah seorang dari mereka yang mempunyai “sesuatu”. Dan mereka berusaha mengeluarkannya, di kosan. Keputusan sepihak, karena adik-adik kosan pun mengaku takut dan tak tahan. Itu sebabnya mereka pergi dari kosan setiap hari minggu, hari dimana “kegiatan itu” dilakukan. Aku, yang tak pernah mau berurusan dengan hal-hal seperti itu, menelpon ibuku. Ibuku minta aku pindah dari sana, secepatnya. Keputusan bulat sudah diambil.

Keluargaku tidak ingin berurusan dengan hal-hal yang “hanya Allah yang tahu”. Kami pernah mencecap pengalaman pahit, setidaknya nenek moyangku. Kami pernah dibantai habis-habisan. Bagi orang jawa mungkin pernah mendengar/mengetahui “Pring Sedapur”. Nama ajian yang digunakan untuk membunuh seluruh anggota keluarga sasaran. Kedua orang tua dan sembilan saudara kandung nenekku, meninggal secara tidak wajar. Bahkan nenekku sendiri pernah meninggal, namun dengan izin Allah, nenekku hidup lagi. Istilahnya mati suri. Nenekku umur 5 tahun, satu-satunya yang tersisa dari keluarganya, namun harus tersiksa dengan pahitnya menanggung derita hidup sebatangkara, dengan berbagai penyakit yang mendera, hanya karena “seseorang” ingin merebut semua harta kekayaan yang diwarisi oleh nenek. Tak cukup sampai disana, nenek pernah secara “tidak sadar” memposisikan dirinya didepan kereta api yang melintas. Tapi Allah mengirim orang yang menyelamatkan beliau. Nenek juga harus merasakan pahitnya ditinggalkan oleh anak-anaknya. Ya, beberapa dari saudara kandung ayahku meninggal saat bayi. Entah kali ini ulah dari “seseorang” itu atau bukan. Seumur hidupnya, bahkan hingga saat ini, nenek sering mengalami mimpi buruk, dan seringnya selalu dalam kondisi tersesat tak tahu jalan pulang.

Bahkan hingga ayahku pun pernah diganggu. Bertahun-tahun seperti mengalami scizophrenia. Tak bisa bekerja, tak bisa menjalani hidup dengan normal, membuat keluargaku hampir broken home. Masa kecilku yang kehilangan sosok ayah, dipaksa memahami hal-hal diluar nalar, membuat kepribadianku menjadi aneh, kesulitan secara ekonomi karena ayah tak bisa bekerja, hutangnya menumpuk, harus melihat ibuku dipukuli di depan mataku, tak punya tempat berteduh, rumah terasa seperti neraka, dikucilkan dari masyarakat, dibully di sekolah, apa lagi yang kurang?

Aku hanya ingin hidup tenang. Aku tak mau punya urusan dengan hal-hal yang “hanya Allah yang tahu”. Aku ingin hidup normal seperti anak-anak lain. Pindah kosan, menjauhi hal-hal supranatural dan sumbernya, adalah pilihan terbaik untuk saat ini. Terserah kalian yang menganggapku pengecut, konyol, buang-buang duit, lemah iman, atau apapun itu. Kalian yang memutuskan untuk melakukan ritual itu secara sepihak di kosan, mungkin merasa aman, karena iman kalian kuat mungkin. Tapi, ada manusia lain yang tak se-suci kalian. Ada manusia lain yang tidak ingin “diganggu oleh mereka”. Kegiatan kalian terlalu beresiko, untuk manusia lain yang berada di atap yang sama.

Aku memang minim pengetahuan, tapi sudah bertanya ke beberapa orang yang lebih paham. Saran mereka, sama dengan ibuku. Lebih baik, secepatnya, aku pindah dari sana. Semoga Allah selalu melindungiku dan keluarga besarku. Amin.

Oh ya, mengenai ayu, aku tadi hanya bertanya, “mengapa ada kembang di taruh depan kamar lamaku setiap hari?” karena penasaran, karena menggunakan gayung mandiku. Ayu menjawab, “itu bunga wisuda yang tidak jadi dikasih ke orangnya. Kenapa kak? Ada yang aneh?”. Lega rasanya, aku menjawab “Cuma tanya aja kok (kirim icon smile)”. Aku kaget waktu dia bilang, “aku ga nyangka kakak sampai berpikiran kayak gitu. Sedih aku kak”. Padahal tujuannya hanya memastikan jika tak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena sejak mendengar cerita dramatis dari Ciko, mengenai “kegiatan” yang dilakukan ketika 2 bulan aku tidak dikosan, kadang suka jadi parnoan. Contohnya, pada suatu hari aku telat bangun subuh, terus langsung kepikiran, “jangan-jangan aku diganggu”. Di hari lain, badanku sakit semua sehingga hanya bisa berbaring seharian dikosan, dan kepikiran lagi “jangan-jangan aku diganggu”. Juga saat aku sangat malas mengolah data penelitian, pun kepikiran “jangan-jangan aku diganggu”. Hidup penuh dengan keparnoan itu tidak enak bray. Aku sempat mikir jangan-jangan makhluknya sampai mikir “elu-nya aja yang emang males, kok gue yang disalahin”.

Yang tak bisa ditoleransi adalah adanya invasi tikus. Selama 5 tahun berpindah-pindah tempat di sekitaran ipb, baru kali ini ada invasi tikus di kamarku. Dan cukup merusak karena mereka pup dan pipis di barang-barangku. Jadi aku harus membuang dan mencuci ulang semua benda di lemari. Wasting time sangat. Belum lagi invasi tikus di kardus isi buku, tas, dan barang lain dibawah ranjang yang belum sempat aku selamatkan. Tikus seringkali membawa penyakit. Itu yang membuatku tidak tahan.

Bahkan hingga saat ini saat menemukan semut berlalu lalang keluar laptopku, jadi parno “jangan-jangan makhluknya masuk laptopku karena diomongin”. Teringat kalimat dari kakak sholeha, salah satu mahasiswa pasca sarjana yg menjadi murabbi. Beliau bilang, “biasanya hewan suka berkumpul di tempat-tempat yang ada ‘itu’ nya”. Mungkin itu juga menjadi jawaban mengapa di kosanku tiba-tiba banyak tikus. Padahal kami memelihara kucing.

Sahabatku, luthfi, yang ikut membantuku pindahan lalu besoknya langsung jatuh sakit, juga jadi parno lalu berkata, “Jangan-jangan gue juga kena dari kosan lama elu”. Sahabatku yang lain, maslahah, mengatakan bahwa ‘mereka’ itu licik, punya banyak cara untuk menggoda, mengganggu, menakuti, dan menaklukkan manusia. ‘mereka’ juga punya nafsu, dan bisa jadi nafsu terhadap manusia. Maka, sebagai orang awam yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hal-hal seperti itu, sebaiknya rajin-rajin beribadah, berlindung pada Allah, dan menghindari segala jenis interaksi dengan mereka.

Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua. Amin.
Semoga besok, setelah menulis cerita ini, saya masih hidup
.
Saya hanya ingin hidup tenang, tanpa gangguan dari mereka dalam bentuk apapun.

Comments

Popular Posts