Harta Paling Berharga


Oleh : Fadhilatul Laela/04/XII IPA A

Pagi itu, tepat pada tanggal 24 Desember 2004 aku tengah sibuk mengepak barang-barang yang akan aku bawa ke kampung halamanku, sebuh kota kecil di tepi pantai bernama Kaudepasi yang berjarak 2 jam perjalanan dengan angkutan darat dari kota Meulaboh. Kota ini memang tidak terkenal dan pembangunannya kurang memadai, termasuk fasilitas umum seperti sekolah sehingga aku harus melanjutkan pendidikan menengah di Banda Aceh, tepatnya SMU Negeri 2 Banda Aceh yang telah mengantarkanku menjadi mahasiswa perguruan tinggi di salah satu kampus terbaik di Indonesia kala itu, yaitu Institut Pertanian Bogor.
 Aku sudah tidak sabar ingin melihat betapa bahagianya Abah dan Umi setelah tahu bahwa sebentar lagi anak kesayangannya akan menjadi sarjana. Ya, seminggu lagi aku akan diwisuda sehingga aku memutuskan untuk pulang menjemput Abah dan Umi di kampung halaman. Aku rindu suasana tentram dan asri kota kecilku, aku rindu birunya laut, putihnya pasir pantai, kokohnya batu karang dan indahnya sunrise dan sunset di tepi pantai Kaudepasi. Sepertinya keelokan puncak, serunya berendam di kawah belerang cipanas dan pendakian di gunung salak tak dapat mengobati kerinduanku pada beningnya laut Kaudepasi.
Tepat pukul 10.00 WIB aku berangkat dari Bogor menuju pelabuhan Merak, Banten dengan menggunakan bus. Seperti biasa butuh waktu 6 jam perjalanan jika lalu lintas tidak terlalu padat seperti ini.  Ah tak terasa ternyata sudah 3 tahun aku tidak pulang, memori tentang kotaku tercinta kembali menyeruak saat aku menyeberangi selat sunda, nan jauh disana tampak dengan gagah gunung Krakatau yang pernah meluluhlantakkan pesisir Jawa dan Sumatera beberapa abad silam. Dari kota Bandar Lampung tak sulit untuk menemukan bus lintas Sumatera yang akan mengantarku menuju kampung halaman. Tiba-tiba salah seorang penumpang di sebelahku tersenyum dan bertanya,
“mau pulang kampung ya mas?”
“eh, iya pak..” jawabku terkejut.
“asalnya dari mana?” lanjut bapak separuh baya itu.
“Aceh pak, bapak sendiri dari mana dan mau kemana?”
“saya dari Serang, mau jenguk anak dan istri di Pekan Baru” jawab bapak itu sembari menutup pembicaraan kami.
Entah sudah berapa lama aku tertidur di dalam bus sampai akhirnya aku terbangun saat bus bergoyang-goyang, tadinya aku pikir bus sedang melalui jalan yang tidak rata namun penumpang di dalamnya ramai meneriakkan asma Allah
“Allahu akbar...... Allahu akbar......!!!!!!” teriak para penumpang.
“ada apa ini pak? Kenapa busnya goyang-goyang?” tanyaku penasaran.
“gempa mas....... gempa mas.......!!!!!!!” jawab bapak itu panik.
“Astaghfirullahaladzim..........!!!!” ucapku sembari berdoa dalam hati agar bus yang kami tumpangi selamat. Setelah beberapa menit akhirnya gempa berhenti dan alhamdulillah semua penumpang selamat.
“ini sampai di kota mana pak?”
“baru sampai Jambi mas....”
Setelah istirahat beberapa saat akhirnya bus yang kami tumpangi mulai melanjutkan perjalanannya lagi, pagi hari yang cerah batinku, tinggal beberapa jam lagi aku bisa memeluk Abah dan Umi, betapa senangnya mereka jika tahu aku akan pulang. Namun beberapa saat kemudian kondektur bis meminta perhatian kami sejenak,
 “selamat pagi bapak-bapak dan ibu-ibu, sebelumnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, kami baru mendapat kabar bahwa terjadi kerusakan jalan yang cukup serius pada jalur lintas sumatera akibat gempa beberapa jam silam sehingga rute perjalanan yang seharusnya berakhir di Banda Aceh, terpaksa harus terhenti di Pekan Baru. Sekian, terimakasih.”
“yah..............” suara para penumpang yang bergumam kecewa termasuk aku. Bagaimana mungkin gempa yang hanya beberapa menit itu dapat merusak akses jalan ke aceh? Pikirku. Rupanya bapak disampingku mengerti kekecewaanku dan mulai berkata,
 “nggak apa-apa mas, mas istirahat aja dulu di rumah saya, nanti kita pikirkan alternatif lain untuk sampai ke Aceh” bujuk bapak itu sambil tersenyum.
“iya deh, terimakasih ya pak........ “ jawabku sambil tersenyum.
Rupanya sesampainya di terminal, keluarga si Bapak telah menanti. Seorang wanita paruh baya berjilbab coklat, anak laki-laki berusia sekitar 11 tahun dan anak perempuan manis yang masih dalam gendongan ibunya beserta seorang supir yang tersenyum ramah padaku. Iri rasanya melihat kebahagiaan mereka bertemu dengan keluarga tercinta, akhirnya bapak tadi memandangku dan memulai pembicaraan,
“oh iya mas, sampai lupa kita belum kenalan, hehehe. Nama mas siapa?”
“nama saya Teuku Wahab pak, dan bapak sendiri namanya siapa?”
“Nama saya Abdul Kadir, ini istri saya Siti Khadijah, dan ini anak saya Umar dan Sofia” jawab bapak kadir sambil menunjuk satu persatu anggota keluarganya. Spontan aku langsung menyalami mereka satu per satu.
“nak Wahab ini berasal dari Aceh dan sementara waktu akan tinggal dirumah kita karena akses jalan ke Nanggroe Aceh Darussalam belum bisa dilalui” ucap bapak Kadir kepada istrinya.
“Iya yah, ibu tadi juga menonton di televisi kalau wilayah aceh dan sumetera utara diterjang tsunami akibat gempa pagi tadi padahal kalau dari Pekan Baru, gempanya tidak sampai merusak rumah dan infrastruktur lain” jawab ibu Khadijah.
“apa bu? Tsunami?? Seberapa dahsyat bu? Apakah ada yang selamat?” sahutku.
“dahsyat sekali nak, karena pusat gempanya ada di samudra Hindia jadi yang terkena imbas paling parah ya wilayah Aceh dan Sumatera Utara, bahkan luapan airnya menerjang hingga 10 Km dari bibir pantai. Selain itu, wilayah yang tidak terkena tsunami juga ikut merasakan dampaknya, banyak rumah dan fasilitas umum rusak, jalan terbelah dan pohon tumbang sehingga akses darat menuju wilayah bencana sulit”
“astghfirullahaladzim............!!!! bagaimana keadaan Abah dan Umi disana Ya Allah?? Lindungilah dan selamatkan kedua orangtuaku Ya Rabb...........!!!!” rasanya aku tak kuat menahan air mata ini untuk tidak mengucur, aku menangis sekuat-kuatnya, sekeras-kerasnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kedua orangtuaku yang sudah renta harus menghadapi bencana yang begitu dahsyat. Namun apa yang bisa aku perbuat sekarang? Ingin rasanya aku berlari sekencang-kencangnya menuju Kaudepasi untuk memeluk kedua orangtuaku, namun lihat aku sekarang. Kaudepasi masih bermil-mil jauhnya, terlintas dalam benakku untuk menuju ke LU. Simpang Tiga karena sekarang  jalur udara adalah satu-satunya alternatif untuk dapat menuju Aceh. Akhirnya aku langsung memberanikan diri meminta pada keluarga pak kadir untuk mengantarku menuju bandara Simpang Tiga.
“pak, bisa tolong antar saya ke bandara Simpang Tiga?”
“mau langsung ke Aceh ya nak? Apa nggak istirahat di rumah bapak dulu?”
“nggak pak, saya pengen tau keadaan orang rumah”
“oh ya sudah kalau begitu bapak antar ya......”
“terimakasih pak........”
Sesampainya di bandara, sangat mengejutkan karena ternyata bandara Simpang Tiga lebih sibuk dari biasanya namun pesawat-pesawat yang menuju ke Aceh hanya bermuatan bahan makanan dan barang bantuan, beribu-ribu kali aku memohon penerbangan ke Aceh namun ditolak dan beribu-ribu kali pula aku meminta untuk ikut pesawat barang namun tidak diizinkan. Aku hampir putus asa, selama 2 hari berada di bandara namun semua usaha yang aku lakukan sia-sia, sekarang ini satu-satunya yang dapat aku mintai pertolongan adalah Allah, meskipun sepertinya tak mungkin untuk dapat terbang ke Aceh, namun Allah bisa membuatnya menjadi mungkin bahkan terjadi, aku percaya itu.  Akhirnya sore harinya Allah mengabulkan doaku, ada satu pesawat yang mengangkut relawan ke Banda Aceh dan aku diizinkan ikut pesawat tersebut.
Betapa terkejutnya aku saat sampai di Banda Aceh, kota tempatku menganyam pendidikan menengah selama 3 tahun kini sudah luluh lantak, rata dengan tanah. Disekitar lapangan udara Blangbintang masih terdapat genangan air dan sepanjang perjalanan menuju pusat kota, tidak terhitung berapa banyak bangunan yang rusak, sampah berserakan, mayat bergelimpangan dan para relawan yang merupakan gabungan dari TNI, Tim SAR dan warga yang sibuk melakukan pencarian terhadap warga yang hilang. Di posko-posko pengungsian,  para dokter dan tim medis seakan tak pernah berhenti menerima pasien yang terus berdatangan. Namun, subhanallah masjid Agung masih tetap kokoh berdiri meskipun bangunan-bangunan disekitarnya telah rata ditelan bumi, maha suci Engkau Ya Allah..............
Namun perasaan masih harap-harap cemas karena belum berjumpa dengan Abah dan Umi, ingin rasanya aku pergi ke Kaudepasi  namun belum ada kendaraan yang berangkat ke sana jadi aku melanjutkan kegiatanku bersama para relawan untuk membantu korban tsunami di Banda Aceh, sampai akhirnya di salah satu posko pengungsian aku melihat wajah yang sudah tak asing lagi, ya benar itu Umi, tanpa pikir panjang aku langsung berlari memeluk Umi erat-erat .
“Ummmmiiiiiiiiiiii..............................!!!!!!!!!”
“Wahab anakku, subhanallah Allah masih mengizinkan kita bertemu nak.....” ucap Umi sambil terisak.
“iya miii, Wahab khawatir sama Umi, oh ya Abah dimana Mi?” tanyaku penasaran.
“ayo ikut umi....” ajak umi sambil memegang erat tanganku.
“Assalamualaikum Abah..........” sapaku sambil tersenyum.
“Waalaikumsalam, Wahab? Alhamdulillah akhirnya kamu pulang juga nak.....” Abah langsung mendekapku erat sambil terisak.
“iya bah, Wahab janji nggak akan ninggalin Abah dan Umi lagi, maafin Wahab ya bah? Mi?”
“iya anakku.........” jawab kedua orangtuaku sambil mengusap rambutku.
“tapi kenapa Abah dan Umi berada di Banda Aceh? Keadaan Kaudepasi gimana Mi? Keadaan rumah kita juga bagaimana Bah?”
“Alhamdulillah Allah masih mengizinkan Abah dan Umi hidup di dunia ini nak, sehari sebelum tsunami menerjang, tante kamu mengundang Abah dan Umi untuk menginap dirumahnya dan membantu persiapan pernikahan putrinya”
“Subhanallah.......”
Maha Suci Allah karena telah menyatukan keluarga kecilku ini lagi, meskipun harta benda kami sudah habis diterjang tsunami, meskipun kami sudah tidak punya apa-apa lagi, namun sesungguhnya kami punya harta yang paling berharga yaitu keluarga. Untuk Abah, Umi, aku janji tidak akan meninggalkan kalian lagi....... J

Comments

Popular Posts