Service Learning untuk Indonesia


Fadhilatul Laela/A24130072
Tema : Karyaku untuk Indonesia



Mahasiswa selalu digambarkan sebagai kaum yang cerdas, kritis, inovatif dan cepat tanggap terhadap keadaan. Tak jarang, ketika ada keputusan pemerintah yang seakan tak berpihak pada rakyat, mahasiswa akan bereaksi dengan demonstrasi. Bung Karno selaku presiden pertama Republik Indonesia pernah berkata, “Beri aku seribu orang orang tua, niscaya akan kuangkat semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, pemuda menjadi ujung tombak perjuangan karena memiliki semangat yang membara. Dewasa ini, pemuda Indonesia tak lagi harus berjuang melawan penjajah demi merebut kemerdekaan. Indonesia telah merdeka selama 70 tahun, sebagian pemuda di kota besar sedang asyik menikmati kecanggihan teknologi dan arus globalisasi. Di sisi lain, masih banyak pemuda Indonesia di wilayah terpencil harus berjuang keras mengayuh sepedanya puluhan kilometer untuk memperoleh pendidikan. Di zaman moderen ini, kecenderungan masyarakat Indonesia berubah seiring perubahan waktu. Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara ‘Gemah ripah loh jinawe’ karena keramahtamahan masyarakatnya. Namun saat ini, masyarakat Indonesia, terutama pemuda, perlahan-lahan berubah menjadi makhluk individual yang seakan menutup mata dengan fenomena disekitarnya.

Saya cinta Indonesia, saya cinta negara saya, namun saya prihatin dengan keadaan tanah air saya saat ini. Para petinggi negara lebih sibuk berebut kursi pemerintahan daripada memikirkan nasib rakyat yang kelaparan. Semua media cetak maupun elektronik lebih banyak menayangkan ‘The sadness of Indonesia’ daripada prestasi anak bangsa. Kebakaran hutan, illegal logging, kelaparan di Indonesia timur, kekeringan berkepanjangan, petani gagal panen, komoditas pertanian tak ada harganya, keran impor dibuka dengan derasnya, kurs rupiah semakin melemah, dan ratusan permasalahan lain dari negeri tercintaku. Saat itulah saya berfikir ‘apa yang salah dengan Indonesia? Siapa yang menyebabkan Indonesiaku seperti ini?’ Namun rasanya terlalu dangkal jika saya hanya bertanya apa, siapa dan mengapa. Karena proses Indonesia menjadi seperti sekarang pastilah terbentuk oleh puluhan generasi. Sampai pada akhirnya pikiran saya terbuka dan timbul pertanyaan saya untuk ‘bagaimana memperbaiki Indonesia?’. Jawabannya, untuk memperbaiki Indonesia haruslah dimulai dari pemuda, karena pemuda adalah calon pemimpin bangsa. Ditangan pemuda, nasib Indonesia di masa mendatang akan ditentukan. Pengabdian kepada masyarakat adalah langkah awal saya dalam berkontribusi untuk memperbaiki Indonesia. Pengabdian atau ‘Service Learning’ mengajarkan saya untuk terjun langsung dalam masyarakat, mengobservasi permasalahan masyarakat, ikut merasakan apa yang dialami masyarakat, dan belajar memutar otak saya untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada di masyarakat.
Saya belajar melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat atau ‘service learning program’ berawal dari kegiatan Bina Cinta Lingkungan (BCL) 2014 yang diadakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IPB yang diikuti oleh mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB. BCL mengajarkan kepada mahasiswa tingkat pertama yang baru menginjak bangku perkuliahan untuk melihat dan merasakan secara langsung bagaimana hidup sederhana bersama masyarakat petani di desa selama tiga hari. Kegiatan ini dapat membuka mata dan hati generasi muda agar lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Setelah itu pada tahun kedua perkuliahan saya mengikuti IPB Goes To Field (IGTF) 2015 selama tiga minggu di Desa Glempang, Banjarnegara. Setelah mata dan hati saya terbuka pada kegiatan BCL, saya belajar untuk menganalisis permasalahan serta merancang program yang akan dijalankan untuk membantu mengatasi permasalahan dalam masyarakat. Kegiatan ini membuat mahasiswa tidak hanya melihat tapi juga melakukan ‘aksi’ nyata untuk membantu masyarakat di desa. Kami melihat potensi perkebunan durian milik warga serta pemandangan Desa Glempang yang indah sangat berpotensi untuk dijadikan agrowisata, maka kami bekerjasama untuk membuatkan desain agrowisata, mengadakan pertemuan dengan kepala desa, dosen serta bappeda agar rencana desa agrowisata bisa terealisasikan. Selain itu kami juga mengadakan konsultasi pertanian dengan warga desa yang mayoritas bekerja sebagai petani dengan mengundang penyuluh pertanian untuk membantu mengatasi permasalahan hama penyakit yang menyerang tanaman petani. Tak lupa kami juga memberikan bantuan bibit tanaman untuk menunjang Desa Agrowisata serta melakukan penyuluhan di posyandu. Namun dibalik itu semua banyak sekali hal yang dapat dipelajari dari warga desa tentang bagaimana mereka sangat menjaga hutan, sungai, air terjun dan kearifan lokal mereka agar tidak rusak. Warga desa juga sangat baik, ramah dan suka menolong sehingga justru mahasiswa yang mendapatkan ‘service learning’ dari mereka.

Tak cukup sampai disitu, pada tahun ketiga perkuliahan saya mengikuti Six University Initiative Japan Indonesia – Service Learning Program (SUIJI-SLP) 2015 di Akehama Site, Shikoku, Jepang. SUIJI-SLP adalah program pelatihan kepemimpinan dengan metode mengajak mahasiswa ke desa untuk mengobservasi permasalahan di desa dan membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Program SUIJI-SLP mendekatkan jarak antara mahasiswa yang kesehariannya belajar dari ruang kelas untuk dapat belajar langsung dari masyarakat. Karena banyak sekali hal penting yang tidak bisa saya dapatkan di ruang kelas, namun bisa saya pelajari saat hidup bersama masyarakat. Meskipun permasalahan di Jepang tentunya sangat berbeda dengan permasalahan di Indonesia, hal itu justru dapat membuat saya ‘berkaca’ tentang Indonesia. Pengalaman dan ilmu yang saya pelajari saat mengikuti SUIJI-SLP di Jepang, akan saya terapkan untuk dapat membangun Indonesia, meskipun bermula dari hal kecil.

Hal yang membuat saya kagum dari masyarakat di Akehama adalah mereka mampu mengolah sendiri produk pertanian maupun perikanannya sehingga tidak terjadi rantai perdagangan yang panjang dan kesejahteraan mereka lebih terjamin. Sangat berkebalikan jika dibandingkan dengan desa-desa di Indonesia. Ketika saya mengikuti program IPB Goes To Field (IGTF) di Banjarnegara, komoditas utamanya adalah durian. Namun petani menjual durian kepada tengkulak di desa, kemudian tengkulak menjual kepada pengumpul atau pedagang besar, pedagang besar menjual kepada pedagang kecil, barulah sampai ke konsumen. Hal yang hampir serupa terjadi pada komoditas lain seperti mangga, bahkan sebelum mangga siap di panen, proses jual beli sudah terjadi antara petani dan tengkulak. Sistem jual belinya adalah per pohon, misal kesepakatan awal harga semua buah dalam satu pohon adalah Rp 100.000,- maka meskipun sebenarnya harga jika dijual per buah nya lebih tinggi, kesepakatan tidak dapat diubah. Hal ini tentu sangat merugikan petani karena keuntungan yang diperoleh lebih rendah dari yang sebenarnya. Namun petani seolah tak berdaya karena mereka belum mampu melakukan proses pasca panen dengan baik. Petani juga belum mampu menjual sendiri produk pertaniannya maupun mengolah fresh fruit menjadi bentuk lain. Hal inilah yang membuat petani Indonesia belum makmur karena rantai pemasaran terlalu panjang sehingga terjadi pembagian keuntungan antara petani, tengkulak, pengumpul, pedagang besar dan pedagang kecil. Harga di petani sangat rendah namun menjadi mahal saat sampai di tangan konsumen. Selain itu, di sebagian desa di Indonesia infrastrukturnya masih sangat buruk sehingga saat proses pengangkutan produk hortikultura dari desa ke kota terdapat banyak produk yang rusak dan tidak layak jual. Hal ini diperparah dengan sistem distribusi yang masih menggunakan karung dan truk seadanya. Hampir tidak ada bedanya truk yang mengangkut pasir atau material bangunan dengan truk yang mengangkut sayur dan buah.

Saat di Akehama, saya menemukan petani yang ‘canggih’ yaitu mampu mengolah sendiri produk hortikultura nya menjadi bentuk lain dan mampu melakukan pemasaran sendiri. Jeruk yang telah dipanen, diolah menjadi orange juice, frozen orange, dressing, bahkan parfum. Kalaupun harus dijual dalam bentuk buah segar, petani di Akehama berangkat ke Tokyo dan Osaka untuk menjual produknya sehingga tidak terjadi rantai pemasaran yang panjang dan keuntungan petani lebih besar. Yang tak kalah penting dari sebuah produk adalah penampilannya. Di Akehama, jeruk yang telah dipanen kemudian dikemas dengan sangat baik, rapi dan menarik. Setiap buah jeruk dikemas dengan plastik bergambar kepala anjing yang lucu sehingga lebih ‘eye catching’ dan mampu menarik lebih banyak konsumen. Dari segi rasa hampir sama bahkan ada beberapa yang rasanya lebih enak jeruk Indonesia. Namun mereka memainkan desain, kualitas, dan inovasi sehingga menjadikan jeruknya laris di pasaran. Hal ini menginspirasi saya untuk menerapkannya di Indonesia dalam bentuk PKM-Pengabdian Masyarakat di Desa Tasikmadu, Tuban sebagai desa penghasil belimbing madu.

Setelah mengikuti program pengabdian seperti BCL, IGTF dan SUIJI-SLP, rasa cinta terhadap Indonesia semakin bertambah. Saya semakin sadar jika Indonesia sebenarnya adalah negara yang kaya dari segi sumberdaya alam, tenaga kerja, budaya, kesenian daerah, dan lain-lain. Masalahnya adalah hingga saat ini kita belum mampu mengelola sumberdaya tersebut dengan baik dan berkelanjutan. Indonesia masih menjual ‘mentah’ semua hasil tambangnya ke luar negeri kemudian membeli kembali dengan harga yang mahal setelah hasil tambang itu diolah negara lain. Misalnya saja timah kita jual murah ke taiwan, kemudian kita beli kembali timah tersebut dengan harga mahal setelah diolah menjadi handphone dan notebook. Dan apa dampaknya bagi Indonesia? Kerusakan lingkungan di wilayah pertambangan. Seandainya Indonesia dapat mengolah sendiri sumberdaya tersebut, tentunya daerah pertambangan seperti Bangka Belitung dapat menjadi daerah yang sejahtera. Disinilah rasa tanggungjawab saya sebagai generasi penerus bangsa muncul, di masa depan Indonesia harus mampu mengolah sumberdaya alamnya sendiri.

Perubahan yang terjadi pada diri saya setelah mengikuti program pengabdian kepada masyarakat saya menjadi lebih ‘peka’ terhadap fenomena disekitar saya. Saya belajar untuk melihat lebih dalam setiap fenomena yang ada. Selain itu, saya belajar untuk tidak hanya menjadi penonton tetapi juga menjadi agen yang ikut serta membuat perubahan menjadi lebih baik. Service Learning mengajarkan banyak hal yang tidak diperoleh dari bangku sekolah dan kuliah namun belajar langsung dari masyarakat. Saya menjadi semakin memiliki tanggung jawab sebagai generasi muda penerus bangsa. Saya merasa semakin bertanggung jawab untuk memperbaiki Indonesia. Service Learning membuat saya semakin mencintai Indonesia dan menginginkan yang terbaik untuk Indonesia. Setelah mengikuti Bina Cinta Lingkungan (BCL), IPB Goes To Field (IGTF) dan SUIJI-SLP, saya semakin sadar akan tridarma perguruan tinggi yang salah satu isinya adalah pengabdian kepada masyarakat. Sesungguhnya pengabdian masyarakat bukan hanya datang dan tinggal di desa kemudian lupa. Namun juga bagaimana cara membangun sebuah program yang bermanfaat dan berkelanjutan bagi masyarakat. Di IGTF Banjarnegara, program kami yang masih berlanjut hingga sekarang adalah ‘Rumah Baca Taman Aksara’. Buku-buku yang kami kumpulkan awalnya dari iuran sukarela, hingga sumbangan teman-teman serta penerbit, kini sudah mulai dirasakan manfaatnya oleh anak-anak di desa Glempang serta petani yang mau belajar dari buku-buku pertanian yang kami sumbangkan. Program SUIJI-SLP yang sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adalah ‘Bank Sampah’ di Desa Bubulak dan ‘Origomiind’ di Desa Situgede. Semoga untuk kedepannya program ini bisa terus berlanjut dan menyebar ke desa-desa lain sehingga semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.

Alasan kami membangun ‘Rumah Baca Taman Aksara’ adalah karena kami melihat di sekolah-sekolah dasar yang ada di Desa Glempang tidak memiliki ruang perpustakaan serta koleksi buku untuk dibaca. Padahal sangat penting untuk menumbuhkan minat baca anak-anak karena dengan membaca kita bisa melihat dunia. Dengan kemurahan hati Bapak Kepala Desa yang bersedia meminjamkan teras belakang rumahnya, akhirnya kami berhasil membangun perpustakaan sejak bulan Agustus 2015 hingga sekarang. Dengan antusiasme teman-teman di IPB, kami dapat mengumpulkan banyak koleksi buku untuk dibaca oleh anak-anak dan masyarakat Desa Glempang.

Selain membangun rumah baca, saya juga terlibat dalam gerakan ‘Bank Sampah’ yang pada mulanya dirintis oleh Ikatan Alumni SUIJI Mahasiswa IPB (IKASUMI) di Tegal dan Bogor. ‘Bank Sampah’ bermula dari keprihatinan kami melihat masyarakat di Bogor dan Tegal sering membuang sampah di hutan, sungai dan danau. Sudah berkali-kali kami melakukan sosialisasi hidup bersih, menyumbangkan tempat sampah, melakukan edukasi sampah di sekolah dasar dan masyarakat, namun kebiasaan yang sudah mendarah daging rupanya sulit dihilangkan dari masyarakat. Sistem kerja ‘Bank Sampah’ adalah masyarakat diberikan buku tabungan sampah, kemudian mengumpulkan sampah rumah tangga untuk ditimbang dan dikalkulasikan menurut harga sampah yang dapat dijual. Setelah itu dicatat ke buku tabungan sampah dan uang tabungan tersebut dapat diambil oleh warga ketika membutuhkan uang, misalnya untuk membayar sekolah, berobat, dan lain-lain. Pada awalnya ‘Bank Sampah’ sudah berdiri di beberapa desa di Bogor dan Tegal, namun nasabah terbanyak terdapat di Desa Bubulak, Bogor karena warga sangat antusias dan merasakan manfaat langsung dari Bank Sampah.
Kegiatan sosial saya yang lain adalah membina ‘Origomind’ di Desa Situgede, Bogor. ‘Origomind’ sendiri adalah merek dagang dari kerajinan tangan berbahan dasar sampah yang memiliki arti dalam bahasa Jepang Ori=lipat dan Gomi=sampah. Terinspirasi dari origami yaitu kertas lipat, kami membuat origomi yaitu sampah lipat. Lagi-lagi berawal dari masalah sampah yang ada di Desa Situgede yang tidak tertangani dengan baik, kami mengajak ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja untuk membuat gantungan kunci, kotak pensil, tas, dan lain-lain yang dikemas dengan menarik untuk kemudian dijual. Usaha kreatif ini berhasil menambah pendapatan ibu-ibu rumah tangga di Desa Situgede sehingga diharapkan kesejahteraannya akan meningkat.

‘Service Learning’ yang saya lakukan tidak hanya menangani sampah namun juga di bidang pendidikan. Saya terlibat sebagai pengajar bahasa jepang di ‘Rumah Chibi’ yang berada di Desa Bubulak, Bogor. Berawal dari kesadaran kami bahwa bahasa adalah jembatan dunia dan Asean Economic Community sudah dibuka pada tahun 2015, kami melakukan gerakan mengajar bahasa inggris dan bahasa jepang kepada anak-anak di Desa Bubulak melalui ‘Rumah Chibi’. Hal ini bertujuan untuk menyiapkan generasi muda agar lebih siap bersaing di dunia Internasional sehingga dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia untuk memajukan Indonesia.

Saya banyak belajar tentang kehidupan melalui ‘Service Learning Program’, oleh karena itu saya harus melakukan serta menularkan agar lebih banyak orang yang merasakan manfaat serta melakukan ‘Service Learning’ di masa mendatang. Karyaku untuk Indonesia yang akan saya lakukan dari sekarang adalah melanjutkan pelaksanaan program ‘Rumah Baca Taman Aksara’ di Banjarnegara, ‘Bank Sampah’ di Bogor dan Tegal serta ‘Origomiind’ dan ‘Rumah Chibi’ di Bogor. Selain itu saya akan mengajukan PKM – Pengabdian Masyarakat untuk membina pengolahan produk makanan dari belimbing madu di desa Tasikmadu, kecamatan Palang, kabupaten Tuban, Jawa Timur. Untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat Indonesia mungkin tidak bisa sekaligus, tapi bisa dimulai dari yang kecil yaitu membina satu desa untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya. Jika di satu desa berhasil maka dapat diterapkan pula ke desa-desa lain. Jika setiap mahasiswa punya kesadaran untuk membina kemajuan suatu desa, maka dengan jumlah seluruh mahasiswa Indonesia tentunya dapat memajukan seluruh desa di Indonesia.

Comments

Popular Posts