Resensi novel Ranah 3 Warna: Dari Maninjau ke Kanada


Judul : Ranah 3 Warna Halaman : 473 Cetakan : Januari 2011 (3) Harga : Rp. 65.000 Siapa saja boleh bermimpi, siapapun dia, bagaimanapun latar belakang keluarga, ekonomi maupun pendidikannya. Yang dibutuhkan adalah fokus, sungguh-sungguh dan berusaha sekuat tenaga. Namun ketika usaha itu tak kunjung membuahkan hasil, malah mendatangkan cobaan bertubi-tubi, kesabaran jadi kunci utamanya, man shabaa zhafira. Seperti yang dialami Alif,tokoh utama dalam novel Ranah 3 Warna yang ditulis oleh Ahmad Fuadi. Siswa yang baru saja tamat dari pondok Madani ini punya mimpi besar untuk hidupnya. Ia ingin kuliah di ITB jurusan penerbangan seperti Habibie lalu merantau ke Amerika. Bagi sebagian besar masyarakat Maninjau, Sumatera Barat, tempat Alif berasal, hal ini sangat-sangat mustahil. Alif tak punya ijazah SMA sebagai syarat bisa mengikuti ujian SNMPTN. Apalagi merantau ke Amerika! Namun cemoohan dan kepesimisan orang-orang itu malah menjadi cambuk bagi Alif untuk mewujudkan impiannya, meski sulit. Di sinilah menariknya buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara ini dibanding bukunya yang pertama. A. Fuadi mampu membawa pembaca ikut menyelami pahit manisnya lika-liku kehidupan yang dialami alif. Konflik yang diciptakan sangat hidup, didukung dengan tokoh-tokoh lain yang berperan penting bagi Alif. Seperti tokoh Ayah yang selalu menunjukkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda. Lalu tokoh amak sebagai janda yang tetap tegar meski telah ditinggal mati suaminya. Meski hidup kesusahan, alih-alih menyuruh Alif pulang ke Maninjau, ia malah terus memompa semangat anak pertamanya itu. “Salasaian apo yang alah waang mulai,” selesaikan apa yang sudah kamu mulai, begitu ucapnya ketika Alif mengabarkan ingin drop out dari kampusnya di Unpad. Ditambah lagi dengan teman-temannya geng Uno yang selalu memberinya semangat. Apa yang dialami Alif agaknya bisa dialami siapa saja. Namun yang berbeda adalah bagaimana menyikapinya. A. Fuadi menyampaikan berbagai pesan moral tersebut kepada pembaca dengan indah tanpa ada kesan menggurui. Ia menambahkan banyak kata-kata bijak yang bisa memacu semangat siapa saja, baik dalam bahasa Indonesia, Arab maupun Prancis. Dalam novelnya terlihat jelas juga kegelisahan penulis tentang negeri ini. Hal itu digambarkannya dalam bab Negeri Utopia. Alif terkagum-kagum dengan masyarakat Quebec, tempat ia mendapat beasiswa pertukaran pelajar. Ia mengangankan Indonesia bisa meniru Kanada dalam hal perbedaan pendapat. Ketika masyarakat Quebec ingin memisahkan diri dari Kanada, tidak ada sedikitpun konflik apalagi kontak fisik antar sesama sipil maupun aparat. Semua bebas berpendapat dan ketika keputusan telah didapat, seluruh warga menerimanya dengan besar hati, menghargai. Tokoh utama juga terkesima karena tingkat kriminal di sana adalan nol. Pintu rumah tak pernah dikunci siang dan malam namun tak pernah terjadi pencurian. “Semua orang sudah bisa memenuhi kebutuhannya masing-masing. Jika ada yang kurang beruntung, maka pemerintah berkewajiban memberikan santunan,” jelas Franc, homolouge Alif di Quebec. Novel yang terinspirasi dari kisah nyata ini juga terasa berwarna dengan sedikit sentuhan kisah percintaannya. Alif yang jatuh cinta pada Raisa, tetangga kos nya. Ia kerap berdebar-debar ketika berbicara dengan perempuan cerdas yang dianggapnya berkilauan ini. Namun sayang, Raisa malah berjodoh dengan Randai, sahabat sekaligus saingan Alif sejak kecil. Akhirnya, cinta Alif tak pernah tersampaikan. Hanya membeku disepucuk surat yang telah ditulisnya bertahun yang lalu. Ranah 3 warna yang berarti Bandung, Yordania, dan Kanada ini akhirnya membawa kita pada indahnya tiga daerah berbeda rasa ini. Penulis memberikan deskripsi yang jelas untuk membangun imajinasi pembaca tentang ketiganya. Maka, jika anda telah mulai membaca buku ini, berkemungkinan besar anda tak akan berhenti membalik halamannya hingga menemukan kata TAMAT. Maka persiapkanlah segelas minuman hangat dan banyak cemilan. Selamat membaca.

Comments

Popular Posts